Adek
Cewek yang Sexy 6:School Sex
Kubelokkan mobilku masuk ke halaman
parkir gedung tua itu. Entah kenapa bibirku seolah memaksaku untuk tersenyum
lebar. Tapi, sesaat kemudian aku tersadar… Terlalu banyak kenangan manis yang
disimpan gedung ini.
“… Kangen ya sama sekolah ini.”
Aku mengangguk dan tersenyum pada
Cherry yang duduk di sebelahku, seolah dia mengerti apa yang aku pikirkan. Aku
yakin sahabatku ini juga memikirkan hal yang sama. Bagaimana pun kami
menghabiskan 12 tahun masa SD hingga SMA di sekolah yang sama.
Cherry dan aku datang bersama ke bekas sekolah kami hari itu karena keperluan kami masing-masing; Cherry harus melatih anak-anak The Foxes (grup modern dance sekolahku) yang akan tampil di kejuaraan dance akhir tahun, sementara aku datang untuk menemani Vany, adikku, menonton sparring tim basket putri SMP. Cerita dewasa terbaru dan terlengkap hanya ada di sexceritadewasa.com.
“Lu latian sampe jam berapa?” tanyaku pada Cherry sambil keluar dari mobil.
“Jam… 4an gitu lah…” katanya sambil melirik arloji. “Kan latian mulai jam 2. Basket sampe jam berapa?”
“Mungkin sekitar jam 3… Gapapa ntar pulang bareng aja,” jawabku.
“Hah? Terus sejam…? OOHH!! DASAR LU!” ujar Cherry sambil tertawa dan memukul lenganku.
“Hahahaha… Udah lama tau ga di sekolah,” jawabku sambil nyengir.
“Ih… Mesum dasar. Belom pernah kan ya sama Vany di sekolah? Dulu sama gue terus kan lu… Hehehe,” kata Cherry.
“Hehehe makanya…”
Cherry dan aku datang bersama ke bekas sekolah kami hari itu karena keperluan kami masing-masing; Cherry harus melatih anak-anak The Foxes (grup modern dance sekolahku) yang akan tampil di kejuaraan dance akhir tahun, sementara aku datang untuk menemani Vany, adikku, menonton sparring tim basket putri SMP. Cerita dewasa terbaru dan terlengkap hanya ada di sexceritadewasa.com.
“Lu latian sampe jam berapa?” tanyaku pada Cherry sambil keluar dari mobil.
“Jam… 4an gitu lah…” katanya sambil melirik arloji. “Kan latian mulai jam 2. Basket sampe jam berapa?”
“Mungkin sekitar jam 3… Gapapa ntar pulang bareng aja,” jawabku.
“Hah? Terus sejam…? OOHH!! DASAR LU!” ujar Cherry sambil tertawa dan memukul lenganku.
“Hahahaha… Udah lama tau ga di sekolah,” jawabku sambil nyengir.
“Ih… Mesum dasar. Belom pernah kan ya sama Vany di sekolah? Dulu sama gue terus kan lu… Hehehe,” kata Cherry.
“Hehehe makanya…”
Menonton sparring basket memang
bukanlah satu-satunya tujuanku datang ke sekolah ini. Aku ingin ML dengan Vany
di gedung sekolah ini! Aku ingin mengenalkan perasaan seru dan deg-degannya ML
bukan di rumah pada adikku.
“Eh tapi lu jangan terlalu nafsu
lah… Kasian dia lagi hamil gede gitu masih lu hajar juga…” kata Cherry perlahan
saat kami berjalan masuk.
“Iyaa… Lagian dianya yang tambah nafsu tau,” kataku membela diri. Cherry nyengir.
“Iya sih katanya emang cewek hamil jadi tambah nafsu…”
“Iyaa… Lagian dianya yang tambah nafsu tau,” kataku membela diri. Cherry nyengir.
“Iya sih katanya emang cewek hamil jadi tambah nafsu…”
Ya, Vany, adikku yang berusia 15
tahun, memang sedang hamil. Vany mengandung anakku, kakaknya sendiri, dan
sekarang kandungannya sudah mencapai bulan kelima. Sejak bulan Juni yang lalu
hubunganku dengannya memang bergeser jauh dari selayaknya hubungan kakak-adik;
mulai dari saling menyentuh tubuh satu sama lain, hingga akhirnya kami ML berkali-kali
sebelum aku pindah untuk kuliah di Singapore, dan akhirnya Vany hamil (baca
episode 5).
Dan entah kenapa, menurutku Vany (yang pada dasarnya sudah sangat seksi untuk anak seusianya) menjadi jauh lebih seksi saat ia hamil. Perutnya yang buncit dan mulus selalu merangsangku, dan dadanya yang luar biasa montok dan besar (34DD sekarang) bisa mengeluarkan susu yang manis sekarang. Selain itu vaginanya menjadi lebih sempit dan hangat di bagian dalam, di samping pantatnya yang menjadi semakin montok dan padat. Sungguh luar biasa!
Dan entah kenapa, menurutku Vany (yang pada dasarnya sudah sangat seksi untuk anak seusianya) menjadi jauh lebih seksi saat ia hamil. Perutnya yang buncit dan mulus selalu merangsangku, dan dadanya yang luar biasa montok dan besar (34DD sekarang) bisa mengeluarkan susu yang manis sekarang. Selain itu vaginanya menjadi lebih sempit dan hangat di bagian dalam, di samping pantatnya yang menjadi semakin montok dan padat. Sungguh luar biasa!
“Hus! Tuh kan udah ngebayangin…
Dasarrrr!” bisik Cherry sambil mencolek bagian tengah celanaku yang sudah mulai
menonjol. “Lu ngapain sama dia tadi pagi?”
Tadi pagi setelah aku puas meremas
dan menyedot susu dari dadanya yang montok, akhirnya Vany men-titf*ckku dengan
nikmat hingga aku meledakkan spermaku banyak-banyak di wajahnya. Untung ia
tidak telambat sampai di sekolah.
“Duh… Susah dijelaskan dengan kata-kata, Cher…” jawabku. Cherry menggelengkan kepalanya sambil nyengir.
“Duh… Susah dijelaskan dengan kata-kata, Cher…” jawabku. Cherry menggelengkan kepalanya sambil nyengir.
Aku dan Cherry berjalan memasuki
gedung SMA sekolah kami. Saat itu jam pulang sekolah, sehingga situasi sangat
ramai. Setelah menyapa beberapa adik kelas yang mengenal kami, Cherry bergegas
ke arah tangga yang akan membawanya ke ruang latihan tari.
“Oke sampe ketemu ntar sore! Inget
Dit jangan terlalu nafsu!” ujar Cherry mengatasi keributan suara anak-anak. Aku
melotot memperingatkan, tapi sahabatku ini nyengir nakal, menjulurkan lidah,
dan berjalan menjauh ke arah tangga. Aku menggelengkan kepala sambil memperhatikannya
pergi… Eh? Sepertinya ada yang berbeda dari Cherry.
Menyadari aku masih terpaku
menatapnya, sahabatku menoleh.
“Hus! Jangan melototin pantat gue terang-terangan gitu ah…” katanya perlahan sambil kembali berjalan mendekat. Aku tertawa.
“Haha… Nggak lah… Lu… Agak lain deh,” kataku jujur.
“Hm? Lain apanya?”
“Gatau… Lu tambah berat ya?” tanyaku. Cherry mengernyit.
“Eehh kurang ajar ya…!” jawabnya gengsi. Tapi kemudian ia tersenyum… Penuh arti.
“Koq senyum gitu?”
“Emang ga boleh? Eh udalah gue udah mau telat ini!” ujarnya sambil melirik arloji lagi. Aku nyengir dan meremas pantat sahabatku yang super montok.
“Yaya… Sampe ketemu ntar sore…”
“Eh nakal ya tangannya!” bisiknya sambil berbalik dan berlari menaiki tangga, memamerkan pantatnya yang bulat dan besar di balik celana trainingnya yang merah terang.
Aku tersenyum saat memandangnya pergi… Tapi sungguh, sepertinya ada yang lain dari Cherry. Hmm… Tak apalah.
“Hus! Jangan melototin pantat gue terang-terangan gitu ah…” katanya perlahan sambil kembali berjalan mendekat. Aku tertawa.
“Haha… Nggak lah… Lu… Agak lain deh,” kataku jujur.
“Hm? Lain apanya?”
“Gatau… Lu tambah berat ya?” tanyaku. Cherry mengernyit.
“Eehh kurang ajar ya…!” jawabnya gengsi. Tapi kemudian ia tersenyum… Penuh arti.
“Koq senyum gitu?”
“Emang ga boleh? Eh udalah gue udah mau telat ini!” ujarnya sambil melirik arloji lagi. Aku nyengir dan meremas pantat sahabatku yang super montok.
“Yaya… Sampe ketemu ntar sore…”
“Eh nakal ya tangannya!” bisiknya sambil berbalik dan berlari menaiki tangga, memamerkan pantatnya yang bulat dan besar di balik celana trainingnya yang merah terang.
Aku tersenyum saat memandangnya pergi… Tapi sungguh, sepertinya ada yang lain dari Cherry. Hmm… Tak apalah.
Aku berjalan perlahan ke arah gedung
olahraga sekolahku. Aku bisa mendengar suara decit sepatu para pemain dan
sorakan penonton, juga suara debam bola basket yang didribble oleh para pemain.
Pertandingan sudah dimulai rupanya. Gedung olahraga⎯saat sedang dilangsungkan pertandingan di dalamnya⎯ selalu terasa panas dan memberi ketegangan tersendiri saat dimasuki,
begitu pula saat ini.
Masuk, aku menoleh ke kanan dan
kiri, mencari Vany… Tidak sulit. Selain karena perut buncitnya yang menyembul
di balik kemeja putih seragam SMPnya, jumlah penontonnya sedikit, dan Vany
ternyata duduk di dekat bangku cadangan tim sekolahku. Aku tersenyum. Tentu
saja, Vany adalah kapten tim basket putri SMP sebelum ia hamil.
Raut muka adikku terlihat sangat
serius memperhatikan pertandingan. Aku menoleh ke papan skor; quarter pertama,
12-10 untuk sekolahku. Ketat. Aku berjalan mendekat ke arah Vany. Vany begitu
berkonsentrasi pada pertandingan hingga tidak menyadari saat aku duduk di
sebelahnya. Aku melambai pada Tasya (panggilan dari Natasha), adik Grace mantan
pacarku dan salah satu sahabat terbaik adikku, yang menyenggol lengan Vany dan
mengangguk ke arahku sambil tersenyum. Vany tersadar dan menoleh.
“Eehh Kak… Aku ga nyadar Kakak
dateng!” ujarnya riang sambil nyengir.
“Hahaha gapapa… Kamu serius banget ngeliatin anak-anak,” kataku.
“Iya… Musuhnya jadi jago nih,” jawabnya serius, kembali melihat ke lapangan. Saat itu seorang pemain sekolah lain memblok passing tim sekolahku dan menyetak angka 3 points. Vany merengut.
“Passingnya.. Aduh… JESSICA KONSEN!!!” Vany meneriaki seorang pemain sekolah kami yang tidak kukenal. Jessica mengacungkan jempol ke arah kaptennya, tampak gugup.
“Ini pertama kali dia main dari awal sih…” kata Tasya di sebelah Vany.
“Point Guard ya dia?” tanyaku pada Vany sambil mengamati Jessica, cewek mungil, kira-kira setinggi adikku, dengan rambut dikuncir ekor kuda. Adikku mengangguk. “Dia yang gantiin aku jadi point guard. Kelas satu.”
“Erika mana?” tanyaku lagi. Aku kenal Erika; point guard cadangan Vany, kelas 2.
“Keseleo kemaren pas latian,” jawab Tasya.
“… Padahal kalo pas latian keliatan gesit banget loh si Jessica ini,” kata Vany. Natasha mengangguk, membetulkan kacamatanya.
“Gesitnya sih sama kayak lu, Van, tapi sering ga konsen… Terus belon begitu berani maennya. Ya masih kelas satu sih… Ntar juga jadi jago,” katanya. Vany mengangguk setuju. Aku pun menyadari bahwa Jessica bergerak sangat gesit, hanya ⎯ tidak seperti Vany ⎯ operannya masih sering meleset dan mudah dibaca lawan.
“Hahaha gapapa… Kamu serius banget ngeliatin anak-anak,” kataku.
“Iya… Musuhnya jadi jago nih,” jawabnya serius, kembali melihat ke lapangan. Saat itu seorang pemain sekolah lain memblok passing tim sekolahku dan menyetak angka 3 points. Vany merengut.
“Passingnya.. Aduh… JESSICA KONSEN!!!” Vany meneriaki seorang pemain sekolah kami yang tidak kukenal. Jessica mengacungkan jempol ke arah kaptennya, tampak gugup.
“Ini pertama kali dia main dari awal sih…” kata Tasya di sebelah Vany.
“Point Guard ya dia?” tanyaku pada Vany sambil mengamati Jessica, cewek mungil, kira-kira setinggi adikku, dengan rambut dikuncir ekor kuda. Adikku mengangguk. “Dia yang gantiin aku jadi point guard. Kelas satu.”
“Erika mana?” tanyaku lagi. Aku kenal Erika; point guard cadangan Vany, kelas 2.
“Keseleo kemaren pas latian,” jawab Tasya.
“… Padahal kalo pas latian keliatan gesit banget loh si Jessica ini,” kata Vany. Natasha mengangguk, membetulkan kacamatanya.
“Gesitnya sih sama kayak lu, Van, tapi sering ga konsen… Terus belon begitu berani maennya. Ya masih kelas satu sih… Ntar juga jadi jago,” katanya. Vany mengangguk setuju. Aku pun menyadari bahwa Jessica bergerak sangat gesit, hanya ⎯ tidak seperti Vany ⎯ operannya masih sering meleset dan mudah dibaca lawan.
Aku mengenal beberapa pemain basket
tim putri SMP karena mereka adalah teman-teman adikku. Agnes sang Center
bertubuh tinggi besar baru saja mencetak angka. Kedudukan sekarang 14-13. Aku
nyengir menikmati pertandingan ini. Sudah lama aku tidak menonton pertandingan
basket seperti ini. Kulirik Vany yang duduk tegang di sebelahku… Sepertinya ia
sudah lupa bahwa ia sedang hamil 5 bulan.
“Van, santai dikit… Inget kamu lagi hamil ga boleh tegang-tegang,” kataku pelan padanya. Vany tersadar dan nyengir, mengelus lenganku dengan sayang dan mulai duduk bersandar ke tembok.
“Hehehe iya kalo udah seru nonton basket gini suka lupa,” katanya sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. Aku merasa penisku mulai tegang, entah kenapa.
“Van, santai dikit… Inget kamu lagi hamil ga boleh tegang-tegang,” kataku pelan padanya. Vany tersadar dan nyengir, mengelus lenganku dengan sayang dan mulai duduk bersandar ke tembok.
“Hehehe iya kalo udah seru nonton basket gini suka lupa,” katanya sambil mengelus-elus perutnya yang buncit. Aku merasa penisku mulai tegang, entah kenapa.
Terdiam, menonton lagi. Aku
memperhatikan adikku… Kemejanya terlihat sangat sempit menahan dua tonjolan
montok dadanya, ditambah dengan perutnya yang buncit menggiurkan. Aku melihat
pundaknya… Hm? Biru muda?
“Van, kamu pake BH biru muda ya…” bisikku perlahan. Vany memukul lenganku sambil tertawa.
“Koq liat sih? Emang keliatan dari balik baju?” bisiknya balik. Aku mengangguk, nyengir.
“Yang tadi pagi putih basah ya…”
“Kena susu sama sperma! Kakak sih!” desis Vany sambil mencubit lenganku. Aku tertawa.
“Kamu seksi, Van…”
“Hus! Kak…”
“Van, kamu pake BH biru muda ya…” bisikku perlahan. Vany memukul lenganku sambil tertawa.
“Koq liat sih? Emang keliatan dari balik baju?” bisiknya balik. Aku mengangguk, nyengir.
“Yang tadi pagi putih basah ya…”
“Kena susu sama sperma! Kakak sih!” desis Vany sambil mencubit lenganku. Aku tertawa.
“Kamu seksi, Van…”
“Hus! Kak…”
* * *
“Tapi bagaimana pun emang hebat kan
anak-anak…”
“Iya sih… Cuma maennya bikin deg-degan tipis- tipis gitu,”
“Iya sih… Cuma maennya bikin deg-degan tipis- tipis gitu,”
Aku dan Vany sedang berjalan perlahan
menyusuri koridor dari gedung olahraga menuju ke gedung utama sekolah kami.
Pertandingan sudah berakhir, dimenangi oleh SMP ku dengan skor tipis 38-34.
Vany agak bersungut-sungut dengan hasil ini, karena saat ia bermain dulu SMP
kami pernah membantai mereka 60-8. Benar-benar tidak diberi kesempatan.
“Udalah, Vann… Jangan bete gitu
donk,” ujarku menghiburnya.
“Hmm… Coba aku maen,” katanya. Tiba-tiba ia geli sendiri dengan perkataannya dan terkikik. “Ga mungkin ya… Hihihi…”
“Dasar…” kataku. Vany menggamit lenganku dan menyenderkan dirinya padaku dengan sayang. Kami berjalan dalam diam perlahan menyusuri koridor sekolah, menuju ke lantai empat, ke tempat Cherry latihan dance.
Sambil berjalan, Vany membelai-belai perutnya yang buncit; sungguh entah kenapa setiap kali aku melihatnya melakukan itu ada rangsangan sangat besar yang menyerangku. Sembunyi-sembunyi aku membetulkan penisku yang tegang di balik celana jeansku.
“Hmm… Coba aku maen,” katanya. Tiba-tiba ia geli sendiri dengan perkataannya dan terkikik. “Ga mungkin ya… Hihihi…”
“Dasar…” kataku. Vany menggamit lenganku dan menyenderkan dirinya padaku dengan sayang. Kami berjalan dalam diam perlahan menyusuri koridor sekolah, menuju ke lantai empat, ke tempat Cherry latihan dance.
Sambil berjalan, Vany membelai-belai perutnya yang buncit; sungguh entah kenapa setiap kali aku melihatnya melakukan itu ada rangsangan sangat besar yang menyerangku. Sembunyi-sembunyi aku membetulkan penisku yang tegang di balik celana jeansku.
“Kita pulang sekarang?” tanya adikku
setelah beberapa lama. Aku menggeleng.
“Nggak… Nunggu Cherry kelar latian MD,” jawabku. Vany melirik arlojinya.
“Jam?”
“Empat…”
“Loh ini baru jam 3 kurang… Kita ngapain sejam?” tanyanya, polos.
“Nggak… Nunggu Cherry kelar latian MD,” jawabku. Vany melirik arlojinya.
“Jam?”
“Empat…”
“Loh ini baru jam 3 kurang… Kita ngapain sejam?” tanyanya, polos.
Ketika itu kami telah sampai di
depan kelas kosong di ujung koridor lantai empat yang dulu sering aku pakai
bersama Cherry sebagai tempat kami ML sepulang sekolah. Saat itu Vany
sepertinya mengerti, menatapku yang nyengir sambil menatapnya dengan tatapan
meminta. Vany menggelengkan kepala.
“Dasar mesumm…” bisiknya. Tapi ia
menggandengku masuk ke kelas itu. Aku menutup pintu di belakangku perlahan.
Kelas ini tak memiliki jendela ke arah dalam, hanya ke arah luar, itu pun agak
tinggi di atas, karena ruang ini sebenarnya adalah bekas gudang yang diubah
menjadi kelas. Dan karena terletak di ujung koridor dan agak jauh dari
kelas-kelas yang lain, maka mendesah sekencang apa pun akan agak susah
terdengar.
“Emang gapapa, Kak di sini? Kalo
ketauan orang gimana?” tanyanya. Aku merangkul adikku.
“Gapapa… Aman koq. Kakak udah pake kelas ini sejak kelas 3 SMP,” jawabku. Vany terbahak dan memukul lenganku.
“Sama Cherry apa Grace?”
“Pernah dua-duanya,” jawabku tenang. Vany tertawa lagi.
“Lebih sering sama Cherry kan pasti…” bisiknya. Aku tertawa dan mengangguk.
“Cherry lebih heboh,” kataku bercanda.
“Tapi Tasya pernah bilang katanya dulu pas Kakak ML di rumahnya, heboh banget MLnya sama Grace,” kata Vany. Aku terkejut.
“Natasha juga suka intipin Kakak sama Grace??? Astagah kalian!” ujarku. Vany terbahak-bahak.
“Kita pengen tau lah, Kaaak…” jawabnya manja. “Ah si Tasya enak tuh udah bibirnya sama seksinya sama Grace, diajarin langsung lagi. Aku kan cuma belajar dari ngintip doank.”
“Kamu juga udah hebat koq tapi, Van…” kataku. Vany nyengir.
“Kakak yakin ini aman?” tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk, meyakinkannya.
“Gapapa… Aman koq. Kakak udah pake kelas ini sejak kelas 3 SMP,” jawabku. Vany terbahak dan memukul lenganku.
“Sama Cherry apa Grace?”
“Pernah dua-duanya,” jawabku tenang. Vany tertawa lagi.
“Lebih sering sama Cherry kan pasti…” bisiknya. Aku tertawa dan mengangguk.
“Cherry lebih heboh,” kataku bercanda.
“Tapi Tasya pernah bilang katanya dulu pas Kakak ML di rumahnya, heboh banget MLnya sama Grace,” kata Vany. Aku terkejut.
“Natasha juga suka intipin Kakak sama Grace??? Astagah kalian!” ujarku. Vany terbahak-bahak.
“Kita pengen tau lah, Kaaak…” jawabnya manja. “Ah si Tasya enak tuh udah bibirnya sama seksinya sama Grace, diajarin langsung lagi. Aku kan cuma belajar dari ngintip doank.”
“Kamu juga udah hebat koq tapi, Van…” kataku. Vany nyengir.
“Kakak yakin ini aman?” tanyanya sekali lagi. Aku mengangguk, meyakinkannya.
Vany tersenyum, berjalan ke arah
deretan meja yang ada di tengah ruangan, dan menyenderkan dirinya ke salah satu
meja. Posenya seksi sekali; kedua tangannya bertumpu ke meja, tersenyum manis
sekali padaku. Aku berjalan perlahan ke arahnya, mendekatkan wajahku hingga berjarak
sangat dekat dengan wajahnya. Aku bisa merasakan nafasnya yang agak tegang.
“Kakak tuh… Nafsunya gede banget
deh…” bisiknya. Ia membelai wajahku lembut. Kami berciuman, lembut tapi penuh
nafsu. Lidah kami saling berbelit, berdecak memenuhi ruangan itu.
Perlahan, jemariku mulai merayap
naik, meremas kedua dada adikku yang montok dan penuh susu, menggosok dan
memainkannya dengan nikmat. Aku merasakan desahan mungil keluar dari mulut
Vany, menikmati remasan dan rangsanganku pada dadanya.
“Mmh… Kak…” desahnya. Tangannya yang
mungil merogoh selangkanganku, mengelus tonjolan keras di baliknya. “Gede
banget…”
“Kamu itu yang gede banget…” bisikku, terus menciumi leher kurus adikku sambil meremas dadanya dengan lembut, beberapa kali mengelus perut buncitnya yang keras. Vany menggelinjang tiap kali aku menyentuh titik-titik tertentu yang merangsangnya; benar, adikku ini lebih mudah terangsang saat ia hamil. Apa semua wanita hamil memang seperti itu?
“Kamu itu yang gede banget…” bisikku, terus menciumi leher kurus adikku sambil meremas dadanya dengan lembut, beberapa kali mengelus perut buncitnya yang keras. Vany menggelinjang tiap kali aku menyentuh titik-titik tertentu yang merangsangnya; benar, adikku ini lebih mudah terangsang saat ia hamil. Apa semua wanita hamil memang seperti itu?
Aku menegakkan badanku sedikit. Vany
telah terduduk di atas salah satu meja, sedikit terengah. Tangan kirinya
menopang perutnya yang buncit. Saat itu aku melihat bercak basah pada kemeja
putih adikku, tepat pada bagian puting susunya. Aku nyengir nakal.
“Van… Kamu baru digituin masa udah
keluar susunya?” tanyaku menggodanya.
“Aaa… Kakak kan ngeremesnya heboh… Gimana ga keluar,” jawab Vany sedikit malu. Aku tersenyum, membuka kancing kemejanya perlahan. Benar saja, BH biru muda yang dikenakannya telah basah oleh susu.
“Hmmmhhh… Vannnyy… Kamu seksi banget, sayang…” kataku. Kubenamkan wajahku pada belahan dadanya yang 34 DD itu. Empuk dan lembut sekali. Aku merogoh ke belakang punggungnya, membuka kancing dan melepas BH adikku.
“Aaa… Kakak kan ngeremesnya heboh… Gimana ga keluar,” jawab Vany sedikit malu. Aku tersenyum, membuka kancing kemejanya perlahan. Benar saja, BH biru muda yang dikenakannya telah basah oleh susu.
“Hmmmhhh… Vannnyy… Kamu seksi banget, sayang…” kataku. Kubenamkan wajahku pada belahan dadanya yang 34 DD itu. Empuk dan lembut sekali. Aku merogoh ke belakang punggungnya, membuka kancing dan melepas BH adikku.
Aku mundur dan terdiam sebentar. Tak
pernah aku habis pikir bagaimana adikku bisa memiliki payudara sebagus dan
sebesar ini; putih mulus tanpa cacat sedikit pun, montok dan sungguh bulat
menantang. Putingnya coklat kemerahan pun telah sangat tegang. Sekali lagi, aku
membenamkan wajahku dalam keempukannya.
“Aah… Kak… Jangan buru-buru donk…”
desahnya perlahan. Kumainkan kedua putingnya perlahan-lahan dengan telunjukku,
membuatnya semakin kegilaan. Air susu sesekali menyemprot dan mengalir dari
putingnya. Kuremas dada adikku kencang-kencang sekali lagi hingga susunya
benar-benar menyemprot keluar. Vany menggelinjang dan mendesah setiap kalinya.
“Van… Kamu makhluk paling seksi yang pernah kakak kenal,” bisikku. Vany tersenyum dan membelai rambutku, mengecup keningku. Ku sedot putingnya bergantian, meminum susunya dengan nikmat, sementara tanganku membelai perut hamilnya yang mulus. Penisku terasa berdenyut-denyut, minta dibebaskan dari bekapan celana dalam yang sempit.
“Van… Kamu makhluk paling seksi yang pernah kakak kenal,” bisikku. Vany tersenyum dan membelai rambutku, mengecup keningku. Ku sedot putingnya bergantian, meminum susunya dengan nikmat, sementara tanganku membelai perut hamilnya yang mulus. Penisku terasa berdenyut-denyut, minta dibebaskan dari bekapan celana dalam yang sempit.
“Mmhh.. Nnhh.. Kaa… K… Jangan
nafsu-nafsu minumnya… Ooh…” desah Vany. Lidahku memainkan kedua putingnya,
memelintirnya dan menyedot setiap tetes yang keluar dari dalamnya. Rupanya Vany
tidak tahan dibegitukan.
“Kakk… Kakk… Mmnnnhhh!!!!! Mmmhh!!!”
“Kakk… Kakk… Mmnnnhhh!!!!! Mmmhh!!!”
Sejumlah besar susu menyemprot ke
dalam mulutku. Aku tahu Vany telah mencapai klimaksnya yang pertama. Tanganku
bergerak pelahan mengelus perutnya dan merogoh ke selangkangannya… Benar saja;
celana dalamnya telah basah kuyup.
“Ohh… K… Kakk…” desah adikku
terbata. Aku mengecup bibirnya.
“Lanjut ya, sayang?” kataku. Vany mengangguk, tersenyum.
“Lanjut ya, sayang?” kataku. Vany mengangguk, tersenyum.
Ciumanku bergerak dari bibir ke
rahang dan leher adikku, ke kedua dadanya yang super besar dan lembut, hingga
ke atas perutnya yang buncit. Kubelai lembut perut adikku, mengecupnya sekali
lagi dengan sayang.
“Mmh… Perut kamu gede tapi bagus
banget, Van…” kataku. Vany tertawa.
“Kakak demen banget ya sama perutku? Padahal buncit gitu,” katanya imut.
“Seksi tau…” jawabku sungguh-sungguh. Vany nyengir.
“Sini, Kak… Gantian!” Vany turun dari meja dan perlahan berlutut di depanku.
“Kakak demen banget ya sama perutku? Padahal buncit gitu,” katanya imut.
“Seksi tau…” jawabku sungguh-sungguh. Vany nyengir.
“Sini, Kak… Gantian!” Vany turun dari meja dan perlahan berlutut di depanku.
Ia membuka kancing dan retsleting
celana jeansku, membiarkannya jatuh ke lantai. Penisku yang tegang langsung
menyembul keluar dari balik celana dalamku, mengacung tepat ke wajah adikku.
Tanpa aba-aba, Vany langsung menyedotnya dengan bersemangat.
“Oohh Vann… Astagah.. Pelan-pelann…”
“Mm… Cp… Kakak dabi juga… Mmmhh.. Ga belan-belan… Mmmm… (Kakak tadi juga ga pelan-pelan)” jawabnya dengan mulut penuh. Kepalanya bergerak maju-mundur mengulum penisku. Lidahnya bergerak liar menjelajah bagian bawah penisku. Enak sekali.
“Mmmnnhh… Aahh.. Vann… Vanny…” desahku.
“Oohh Vann… Astagah.. Pelan-pelann…”
“Mm… Cp… Kakak dabi juga… Mmmhh.. Ga belan-belan… Mmmm… (Kakak tadi juga ga pelan-pelan)” jawabnya dengan mulut penuh. Kepalanya bergerak maju-mundur mengulum penisku. Lidahnya bergerak liar menjelajah bagian bawah penisku. Enak sekali.
“Mmmnnhh… Aahh.. Vann… Vanny…” desahku.
Vany melepaskan penisku dari
mulutnya, membiarkannya jatuh di atas dadanya yang luar biasa montok dan bulat.
Ia mengangkat dadanya dengan kedua belah tangannya dan mulai menjepit penisku
di antara keduanya. Adikku ini memang spesialis titf*ck. Belum pernah ada cewek
lain yang seenak Vany melakukannya.
“Oohh.. Nnghh… Vann… Kamu emang paling enak…” erangku keenakan. Vany nyengir sambil terus menggerakkan dadanya naik-turun, meremas dan memijat penisku dalam keempukan dadanya. Rasanya aku memang tak dapat bertahan lama dibeginikan.
“Kalo diginiin gimana, Kak?” goda Vany.
Tangan kiri Vany menekankan perutnya yang buncit ke atas, sementara tangan kanannya memegang dadanya dan menjepitkannya lebih erat membungkus penisku. Ini luar biasa; sensasi lembut dan keras perut hamilnya dipadu dengan empuknya dada adikku yang luar biasa besar. Tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur, menggosokkan penisku semakin cepat. Aku tak tahan.
“Nggghhh!! V… Vaan… VannnnNN!!!”
“Oohh.. Nnghh… Vann… Kamu emang paling enak…” erangku keenakan. Vany nyengir sambil terus menggerakkan dadanya naik-turun, meremas dan memijat penisku dalam keempukan dadanya. Rasanya aku memang tak dapat bertahan lama dibeginikan.
“Kalo diginiin gimana, Kak?” goda Vany.
Tangan kiri Vany menekankan perutnya yang buncit ke atas, sementara tangan kanannya memegang dadanya dan menjepitkannya lebih erat membungkus penisku. Ini luar biasa; sensasi lembut dan keras perut hamilnya dipadu dengan empuknya dada adikku yang luar biasa besar. Tanpa sadar aku menggerakkan pinggulku maju-mundur, menggosokkan penisku semakin cepat. Aku tak tahan.
“Nggghhh!! V… Vaan… VannnnNN!!!”
Crott… Crrroootttt…. Cccroottt…
Spermaku seolah tak mau berhenti meledak, melumuri wajah imut adikku dengan
cairan kental putih, mengalir turun membasahi dada dan perutnya juga. Aku
merosot bersandar pada meja di belakangku.
“Mmm… Kakak selalu ga tahan kalo digituin,” kata Vany seraya menjilat sisa sperma di sekitar mulutnya. Ia kembali duduk di atas meja, dan dengan ekspresi polos Vany mengusap dan meratakan cairan kental yang melumuri perut dan dadanya yang montok itu, seolah spermaku sejenis krim; pemandangan yang membuat penisku tak menjadi lemas sedikit pun.
“Mmm… Kakak selalu ga tahan kalo digituin,” kata Vany seraya menjilat sisa sperma di sekitar mulutnya. Ia kembali duduk di atas meja, dan dengan ekspresi polos Vany mengusap dan meratakan cairan kental yang melumuri perut dan dadanya yang montok itu, seolah spermaku sejenis krim; pemandangan yang membuat penisku tak menjadi lemas sedikit pun.
Aku berdiri perlahan, melumat bibir
adikku dengan nafsu, mendorongnya hingga terlentang di atas meja. Vany
tersenyum.
“Ayo, Kak… Langsung aja…” pintanya
lembut. Aku tersenyum dan menurutinya.
Kubuka kancing rok SMP adikku,
membukanya dan membiarkannya merosot ke lantai batu. Perlahan, aku menarik
celana dalamnya yang basah kuyup dan melepasnya. Vany mengangkat kedua pahanya
yang montok dan mengangkang lebar-lebar di depanku. Aku meletakkan penisku di
bibir vaginanya yang tembem dan mulus dengan bulu yang sangat halus. Perlahan,
kumasukkan kepala penisku yang merah padam ke dalamnya. Vany menggrunjal
sedikit.
“Mmhh… Kakk…” desahnya, menggeliat
merasakan batang penis kakaknya perlahan-lahan memasuki vaginanya yang sempit
dan hangat hingga mentok.
Tanpa menunggu lagi, aku segera
menghujam-hujamkan penisku ke dalam tubuh Vany. Adikku menggeliat, mendesah,
mengerang keenakan setiap kali penisku bergerak masuk, semakin lama semakin
cepat.
“Ohh… Nnhhh… Vann.. Vann… Vanny…” kataku berulang-ulang. Vaginanya yang becek dan lembut benar-benar nikmat membungkus penisku.
“Ahh.. Aaahh… Ahhh Kakk.. Nnggghh!!” Vany mengerang, satu tangan mencengkeram pundakku, yang lain mengelus perutnya yang buncit.
“Ohh… Nnhhh… Vann.. Vann… Vanny…” kataku berulang-ulang. Vaginanya yang becek dan lembut benar-benar nikmat membungkus penisku.
“Ahh.. Aaahh… Ahhh Kakk.. Nnggghh!!” Vany mengerang, satu tangan mencengkeram pundakku, yang lain mengelus perutnya yang buncit.
Kuremas dadanya kuat-kuat hingga
susunya menyemprot, kumainkan puting kirinya yang sensitif dengan jemariku, membuat
Vany memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya menahan rangsangan.
“Oohh.. Kakk.. Kak aku ga bosen bosen digituin.. Ahhh…” desahnya. Keringat membanjiri tubuh kami. Gerakan pinggulku semakin cepat menghujam vaginanya. Nafas kami memburu. Penisku berdenyut-denyut, menghantam-hantam mulut rahimnya yang sedang mengandung anakku.y
“Aaahh.. NNhhh!! Ooh Kakk.. Kakak… Mmmnhh!! Aaahh…” Vany menggeletar, badannya semakin menegang. Ia mengapitkan kedua kakinya ke pinggangku. Vaginanya mengencang, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku tahu Vany sudah tak tahan.
“Van… Vann tunggu bentar Kakak juga.. Nnggghh juga udah mau keluarr…”
“Ga ku.. kuattt… Kaaaakk… KKkk… Aaaahhh…!!!”
“Oohh.. Kakk.. Kak aku ga bosen bosen digituin.. Ahhh…” desahnya. Keringat membanjiri tubuh kami. Gerakan pinggulku semakin cepat menghujam vaginanya. Nafas kami memburu. Penisku berdenyut-denyut, menghantam-hantam mulut rahimnya yang sedang mengandung anakku.y
“Aaahh.. NNhhh!! Ooh Kakk.. Kakak… Mmmnhh!! Aaahh…” Vany menggeletar, badannya semakin menegang. Ia mengapitkan kedua kakinya ke pinggangku. Vaginanya mengencang, menjepit penisku lebih kuat lagi. Aku tahu Vany sudah tak tahan.
“Van… Vann tunggu bentar Kakak juga.. Nnggghh juga udah mau keluarr…”
“Ga ku.. kuattt… Kaaaakk… KKkk… Aaaahhh…!!!”
Vany orgasme dan squirting
berkali-kali kencang sekali hingga aku harus mencabut penisku dari vaginanya.
Tubuh mungil adikku gemetar hebat sekali setelah itu, tapi aku benar-benar
belum puas menikmatinya; padahal tadi sudah tinggal sedikit lagi aku mencapai
klimaksku juga. Tanpa menunggu lama, aku segera memasukkan lagi penisku ke
dalam vaginanya, dan kembali menggenjot adikku dengan nafsu.
“Aahh.. Hhh.. Kakk.. Kakkk nafs..
nafssuu banget de…hhhH!.. Aaahh pelan-pelan kakk..” desah Vany tak karuan.
Tangannya mencengkeram tepi meja, susu menyemprot dari putingnya, dadanya yang
super besar dan perutnya yang buncit berguncang-guncang seirama tusukan
penisku.
“Mnnhh.. Vann.. Vanny kuarin jurus
kamu donk… Nngghh…” pintaku.
Vany mengangguk, wajahnya menegang, berkonsentrasi, dan sebentar kemudian serangan itu datang! Penisku serasa seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan bertubi-tubi. Ini dia yang kutunggu.
“Oohh… Vaann.. Vannyy!!! VANNN!!!”
Vany mengangguk, wajahnya menegang, berkonsentrasi, dan sebentar kemudian serangan itu datang! Penisku serasa seperti diserang bergelombang-gelombang pijatan bertubi-tubi. Ini dia yang kutunggu.
“Oohh… Vaann.. Vannyy!!! VANNN!!!”
Aku meledakkan spermaku berkali-kali
ke dalam rahimnya. Nikmatnya tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku
memejamkan mata, menahan nafas, membiarkan spermaku terus keluar hingga bulir
terakhirnya di dalam tubuh Vany.
Kucabut penisku, dan segera terlihat
cairan putih kental yang mengalir perlahan dari dalam vagina adikku, melumuri
anus dan menetes ke meja. Aku merosot, tersengal mengatur nafas, duduk bersandar
pada meja di belakangku. Penisku ngilu rasanya, tapi seperti biasanya, belum
menunjukkan tanda-tanda melemas setelah dua kali keluar. Tubuhku tak pernah
puas menikmati Vany.
Saat itu Vany turun dari meja,
menegakkan dirinya, dan berjongkok persis di depanku. Vaginanya yang basah
kuyup, masih meneteskan spermaku, berada beberapa senti di atas kepala penisku.
“Lagi, Kak… Aku belom puas… Tanggung jawab…” perintah Vany sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku tersenyum, melumat bibir mungilnya lembut. Tanganku merogoh ke pantatnya yang montok, membimbingnya turun.
“Lagi, Kak… Aku belom puas… Tanggung jawab…” perintah Vany sambil mendekatkan wajahnya padaku. Aku tersenyum, melumat bibir mungilnya lembut. Tanganku merogoh ke pantatnya yang montok, membimbingnya turun.
Vaginanya membungkus penisku erat
saat Vany menurunkan pinggulnya perlahan. Hangat dan lembut sekali rasanya.
Vany mulai bergerak naik-turun perlahan; perutnya yang buncit dan mulus
menggesek perutku setiap kalinya.
“Nnhh.. Mmhh… Vannn.. Enak banget.. Mmhh…” desahku.
“Nnhh.. Mmhh… Vannn.. Enak banget.. Mmhh…” desahku.
Vany menikmati sekali posisi ini. Ia
memejamkan mata, menggigit bibirnya. Tanganku bergerak, meremas-remas pantatnya
yang montok dan padat sambil membantunya bergerak naik-turun. Dada Vany yang
besar menekan dadaku, membuat susunya mengalir keluar dan membasahiku. Kucium,
kujilat leher adikku dengan nafsu.
“Aaahh.. Kakkk… Kenapa posisi ini
enak.. Bangett sihh… Nnhhhh” desahnya. Ia mencium pundak dan leherku, tangannya
mencengkeram erat punggung kakaknya.
Aku mempercepat genjotanku ke dalam
vaginanya. Vany mengerang, menekankan kepalanya ke pundakku.
“Kakk… Kakak… Nnnnnhhh…”
“Mau keluar, Yang??”
Vany mengangguk liar, memelukku semakin erat. Aku dapat merasakan vaginanya menyempit, menjepit penisku kencang-kencang. Aku menusukkan penisku lebih cepat dan kuat. Vany menggelengkan kepalanya.
“Mmmmmmmmnn… Nnnnn… NNNHHaaaaaHH!!!”
Dengan lenguhan panjang Vany orgasme untuk ketiga kalinya siang ini. Aku dapat merasakan cairan vaginanya yang dingin meledak keluar, menyiram penis dan pahaku. Susunya pun menyemprot banyak membasahi dadaku
.
“Kakk… Kakak… Nnnnnhhh…”
“Mau keluar, Yang??”
Vany mengangguk liar, memelukku semakin erat. Aku dapat merasakan vaginanya menyempit, menjepit penisku kencang-kencang. Aku menusukkan penisku lebih cepat dan kuat. Vany menggelengkan kepalanya.
“Mmmmmmmmnn… Nnnnn… NNNHHaaaaaHH!!!”
Dengan lenguhan panjang Vany orgasme untuk ketiga kalinya siang ini. Aku dapat merasakan cairan vaginanya yang dingin meledak keluar, menyiram penis dan pahaku. Susunya pun menyemprot banyak membasahi dadaku
.
Kucabut penisku dari vaginanya dan
mengarahkannya ke dalam anus adikku. Vany menjerit kecil ketika penisku
menerobos anusnya yang luar biasa sempit dan mulai menghujam dengan kuat ke
dalamnya. Ini enak sekali. Aku merosot hingga tiduran di lantai, sementara Vany
terduduk di atasku, bergerak sesuai irama genjotanku. Dadanya
berguncang-guncang menggiurkan.
“Aaahh… Ahh Kakk.. Nnhhh… Kakk…
Mmhh..” desah Vany sambil mengelus perutnya. Tangan kirinya meremas dan
memainkan dadanya sendiri, menyemprot-nyemprotkan susu keluar. Kucengkeram
pantat Vany. Anusnya sangat ketat menjepit penisku, membuatku tak bertahan
lama.
“Van.. Ohh.. Hhh.. Hhh… Vannn Kakak
mau keluarr…”
“Kak… Kakk… Kakk.. Nnhh Nnhhh… Akuu jugga… MMmmhhhHH…”
“Nngghh.. Vann.. Vannyy… Vannyyy!!! VANNNY!!”
“Kak… Kakk… Kakk.. Nnhh Nnhhh… Akuu jugga… MMmmhhhHH…”
“Nngghh.. Vann.. Vannyy… Vannyyy!!! VANNNY!!”
Aku mengerang, tapi Vany ternyata
telah mencapai puncaknya terlebih dahulu. Ia menjerit kencang dan squirting
kuat-kuat membasahi pinggang dan pahaku, anusnya menyempit lagi. Sedetik
kemudian aku orgasme, meledakkan spermaku banyak-banyak ke dalam anus adikku.
Vany roboh ke atasku, terengah,
tersengal. Tubuh kami bersimbah keringat. Penisku yang telah lemas kucabut dari
anusnya, membuat spermaku meleleh keluar dari dalamnya. Vany berguling turun
dan duduk bersandar ke meja di sebelahku, matanya terpejam; dadanya bergerak
naik-turun, berusaha mengatur nafas.
“Hh.. Thanks Van…” bisikku setelah
beberapa lama.
Vany mengangguk lemah, lelah.
“Sama-sama…” katanya.
Vany mengangguk lemah, lelah.
“Sama-sama…” katanya.
Kami terdiam. Aku mendudukkan diri,
melirik arloji, jam 4.15… Harusnya Cherry sudah selesai. Aku menoleh ke adikku,
perlahan aku meraba dadanya yang besar. Kudekatkan mulutku ke putingnya dan
mulai menyedot susu yang manis dari dalamnya. Vany nyengir dan mendengus
tertawa.
“Kak… Belum capek apa? Ntar aku jadi
terangsang lagi loh…” katanya lembut. Ia membelai rambutku.
“Mmm… Cuma mau minum koq, Yang…” bisikku. Vany tersenyum. Tanganku mengelus perutnya, mulus sekali, enak sekali.
“Mmm… Cuma mau minum koq, Yang…” bisikku. Vany tersenyum. Tanganku mengelus perutnya, mulus sekali, enak sekali.
Saat itu tiba-tiba aku mendengar suara
pintu dibuka perlahan. Hatiku mencelos. Aku menatap Vany, melihat ketakutan dan
keterkejutan yang sama di mata adikku. Kami membeku di tempat. Panik. Tak akan
sempat kami memakai pakaian kami. Langkah kaki perlahan mendekat, semakin
jelas.
“Astagah Diitt… Udah gue duga lu
bakal di sini!!”
Aku hampir pingsan karena lega.
Cherry, sahabatku, berkeringat dan terlihat lelah tapi senang, berdiri bertolak
pinggang di hadapanku dan Vany.
“Duh Cher… Lu bikin gw jantungan,”
ujarku lega. Vany telah tertawa terbahak-bahak di sebelahku.
“Lagian lu kacau sih… Hai, Van!” kata Cherry geli. Ia melambai ke arah Vany, yang segera berdiri dan memeluk Cherry erat.
“Apa kabar, Cher??” ujar Vany riang.
“Baik banget… Wah kamu udah gede banget!” kata Cherry sambil menatap perut adikku. Vany tertawa.
“Iya donk udah 5 bulan… Salahin dia nih!” ujarnya sambil menunjukku. Cherry tertawa, membelai perut buncit Vany dengan lembut. Heran, koq bisa ga canggung sama sekali sih?
“Yang ini juga gede banget, Van… Bagi-bagi donk!” ujar Cherry sambil meremas dada Vany yang memang super besar.
“Eehh!! Cherry!!” seru Vany sambil tertawa dan menghindar.
“Heh.. Udah-udah ayo pulang,” kataku sambil memakai celana dan kaosku lagi. Vany mengambil sehelai kaos dan celana pendek dari tasnya dan mengenakannya perlahan.
“Lagian lu kacau sih… Hai, Van!” kata Cherry geli. Ia melambai ke arah Vany, yang segera berdiri dan memeluk Cherry erat.
“Apa kabar, Cher??” ujar Vany riang.
“Baik banget… Wah kamu udah gede banget!” kata Cherry sambil menatap perut adikku. Vany tertawa.
“Iya donk udah 5 bulan… Salahin dia nih!” ujarnya sambil menunjukku. Cherry tertawa, membelai perut buncit Vany dengan lembut. Heran, koq bisa ga canggung sama sekali sih?
“Yang ini juga gede banget, Van… Bagi-bagi donk!” ujar Cherry sambil meremas dada Vany yang memang super besar.
“Eehh!! Cherry!!” seru Vany sambil tertawa dan menghindar.
“Heh.. Udah-udah ayo pulang,” kataku sambil memakai celana dan kaosku lagi. Vany mengambil sehelai kaos dan celana pendek dari tasnya dan mengenakannya perlahan.
Kami bertiga berjalan ke arah tempat
parkir. Tiba-tiba Vany nyeletuk.
“Cher, kamu… Agak beda deh,”
“Hm? Beda gimana?”
“Ya kan Cher! Emang gw ngerasa agak ada yang lain dari lu…” ujarku setuju. Vany mengangguk. Rupanya Vany juga melihat ada sesuatu yang aneh dari Cherry.
Anehnya, sekali lagi Cherry hanya tersenyum simpul penuh arti.
“Cher, kamu… Agak beda deh,”
“Hm? Beda gimana?”
“Ya kan Cher! Emang gw ngerasa agak ada yang lain dari lu…” ujarku setuju. Vany mengangguk. Rupanya Vany juga melihat ada sesuatu yang aneh dari Cherry.
Anehnya, sekali lagi Cherry hanya tersenyum simpul penuh arti.
* * *
Bandara Internasional
Soekarno-Hatta, Terminal 2 Keberangkatan
Sabtu, 3 Januari 2009 – 15.00 WIB.
Sabtu, 3 Januari 2009 – 15.00 WIB.
“Sampe ketemu, Ma…”
“Ya… Ati-ati ya… Jaga adikmu baik-baik. Bulan depan Mami-Papi kesana.”
“Ya… Ati-ati ya… Jaga adikmu baik-baik. Bulan depan Mami-Papi kesana.”
Ayah-Ibuku memeluk dan mencium kedua
anaknya. Hari ini aku, Vany, dan Cherry akan berangkat ke Singapore. Vany akan
tinggal di sana bersamaku hingga setelah melahirkan. Kami melambai dari balik
pintu kaca yang memisahkan kami dari Ayah dan Ibu, dan mulai berjalan perlahan
menuju ruang tunggu.
“Hmmm… Tinggal di luar negri
sendirian enak ga, Kak?” tanya Vany, mengenakan baju terusan warna pink muda
ditutupi jaket Adidas putih. Ia berjalan sambil membelai perutnya yang semakin besar,
memasuki bulan keenam sekarang (Aku berusaha mengalihkan pandanganku. Celanaku
terasa menyempit). Kami sudah tahu bahwa anak yang di dalam kandungan Vany
berjenis kelamin perempuan, dan entah kenapa Vany sangat ingin menamainya Ella.
“Ya ada enaknya ada enggaknya… Tapi kamu kan ga sendirian,” kataku. “Ada Kakak…”
“Ada aku juga…” ujar Cherry riang. Vany tertawa.
“Hahaha iya sih…”
“Ya ada enaknya ada enggaknya… Tapi kamu kan ga sendirian,” kataku. “Ada Kakak…”
“Ada aku juga…” ujar Cherry riang. Vany tertawa.
“Hahaha iya sih…”
Kami berjalan menuju ruang tunggu.
Sambil berjalan, aku tak dapat melepaskan pandanganku dari sahabatku. Sungguh,
ada yang lain darinya, tapi aku tak dapat menemukan apa. Jelas Cherry terlihat
agak menggemuk setelah sebulan di Jakarta, tapi itu wajar karena aku pun
menghabiskan sebulan ini untuk makan makanan yang enak-enak di kota
kelahiranku. Apa ya? Apa pantatnya tambah montok? Aku jarang bertemu dengan
sahabatku ini selama sebulan terakhir, karena kami masing-masing sibuk dengan
urusan kami sendiri. Kami bahkan tidak ML sama sekali selama di Jakarta. Aku
menatapnya makin tajam, menyelidiki.
“Heh, lu ngapain ngeliatin gue sampe
kayak gitu?” hardik Cherry.
“Cher… Lu… Seriusan deh ada yang laen. Apa ya?”
“Cher… Lu… Seriusan deh ada yang laen. Apa ya?”
Kali ini Cherry nyengir lebar,
nyaris tertawa. Tapi heran sekali, Vany juga ikut nyengir!
“Ahh Cherr!! Van! Kalian apaan sih
kasi tau donk ada apa!” pintaku tak sabar. Tak kuduga, Vany yang menjawab.
“Ella kan bakal punya adik, Kak…” ujarnya riang. Aku melonjak kaget.
“HAH?! Hah jangan bercanda kamu, Van!!” aku memelototi sahabatku. “Lu… Lu hamil??”
Cherry nyengir, mengangguk.
“Udah 3 bulan…” katanya sambil membuka retsleting hoodie tebalnya. Ternyata benar, memang perutnya terlihat buncit dari balik tank top kuningnya. “… Anak lu juga, Dit. Pasti.”
“Minggu lalu ke Tante Rina sama aku,” jelas Vany. “Tantenya sampe geleng-geleng waktu tau ini anak Kakak juga…”
“Ella kan bakal punya adik, Kak…” ujarnya riang. Aku melonjak kaget.
“HAH?! Hah jangan bercanda kamu, Van!!” aku memelototi sahabatku. “Lu… Lu hamil??”
Cherry nyengir, mengangguk.
“Udah 3 bulan…” katanya sambil membuka retsleting hoodie tebalnya. Ternyata benar, memang perutnya terlihat buncit dari balik tank top kuningnya. “… Anak lu juga, Dit. Pasti.”
“Minggu lalu ke Tante Rina sama aku,” jelas Vany. “Tantenya sampe geleng-geleng waktu tau ini anak Kakak juga…”
Aku tak dapat berkata apa-apa.
Bagaimana ini? Cherry juga hamil anakku?
“… 3 bulan, Cher?” tanyaku
gelagapan. Cherry mengangguk, tersenyum manis seperti biasanya. Berarti…
Berarti sekitar awal-awal aku tahu bahwa adikku juga hamil, sekitar akhir
September. Wah ini kacau!
Tiba-tiba aku sadar akan suatu
keanehan. Sekali lagi aku mengamati perut Cherry yang buncit.
“Cher, 3 bulan kata lu?”
“Ya. Napa mank?”
“Koq udah segede itu? Waktu Vany hamil 3 bulan gue liat dari webcam belum begitu keliatan bedanya,” tuntutku.
“Ya. Napa mank?”
“Koq udah segede itu? Waktu Vany hamil 3 bulan gue liat dari webcam belum begitu keliatan bedanya,” tuntutku.
Cherry nyengir, Vany tertawa
terbahak-bahak. Astagah ada apa?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar